ISTISHAB
Pengertian Istishab
Yang dimaksud dengan istishab ialah mengambil hukum yang telah ada
atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya
sebelum ada hukum yang mengubahnya. Misalnya, seorang merasa telah berwudu, ia
ragu-ragu apakah sudah batal atau belum?. Dalam keadaan seperti ini, ia harus melihat
hukum asalnya, apakah sudah berwudu atau belum?. Bila belum, maka ketentuan sebaiknya adalah
berpegang kepada “belum berwudu”, karena hukum yang asal adalah belum berwudu.
Tetapi apabila ia merasa yakin sudah berwudu, lalu ia ragu kebatalannya, maka
dihukumkan bahwa ia telah berwudu.
Macam-macam Istishab
a.
Istishab kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah
(kemurnian menurut aslinya), contoh:
1)
Setiap makanan dan minuman yang tidak ditetapkan oleh suatu dalil
yang mengharamkannya adalah mubah hukumnya. Hal ini disebabkan Allah swt menciptakan
segala sesuatu yang ada di bumi ini dimanfaatkan oleh seluruh manusia.
2)
Ketetapan tidak wajib menjalankan shalat fardhu lima kali dalam
sehari semalam adalah berdasarkan istishab kepada hukum akal dengan baraatul
ashliyah. Hal ini disebabkan tidak ada dalil yang menetapkannya.
3)
Istishab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada
suatu dalil yang mengubahnya.
Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istishab:
a.
Menjadikan istishab sebagai pegangan hukum sesuatu peristiwa yang
belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur’an, As-Sunah maupun ijma’. Ulama yang
termasuk kelompok ini adalah Syafi’iyah, Hambaliyah, Malikiyah, Dhahiriyah, dan
sebagian kecil dari ulama Hanafiyah serta ulama Syi’ah. Dalil yang mereka
jadikan alasan, antara lain:
Artinya:
“Sesungguhnya
dugaan itu tidak sedikitpun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”. (QS. Yunus:36)
Berdasarkan
kepada prinsip di atas, ulama ushul menetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai
berikut:
Artinya:
“Pada
dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya”.
Artinya:
“Apa
yang diyakini adanya tidak hilang karena adanya keraguan”.
Artinya:
“Asal
hukum sesuatu adalah boleh”.
b.
Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum. Ulama
golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama Hanafiyah. Mereka menyatakan bahwa
istishab dengan pengertian seperti di atas adalah tanpa dasar.
Comments
Post a Comment