IJTIHAD



Pengertian Ijtihad
 
Kata ijtihad berasal dari kata ijtihaada-yajtahidu-ijtahada yang berarti:”bersungguh-sungguh, rajin, giat”.
Kemudian dikalangan ulama, perkataan ijtihad ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum syari’at. Jadi, dengan demikian, ijtihad adalah perbuatan menggali hukum syar’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Secara terminology, Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar hukum Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama), kenyataan menunjukkan bahwa ijtihad dilakukan di berbagai bidang, yang mencakup aqidah, mu’amalah, politik, tasawuf dan falsafat.
Adapun Ijtihad menurut para ulama:
a.       Menurut Ibnu Hajib
Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih untuk mendapatkan suatu tahap dugaan kuat terhadap adanya sebuah ketetapan syari’ah.
b.      Menurut Dr.Wahbah Az-Zuahily
Beliau menyimpulkan bahwa ijtihad adalah upaya mengistimbatkan hukum - hukum syara’ dari dalil-dalilnya secara rinci.
c.       Menurut imam Al-Ghazali
Bahwa ijtihad lebih umum dari qiyas karena kadang kadang ijtihad melakukan penalaran yang mendalam terhadap lafadz yang umum dan dalil-dalil selain qiyas
Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam batasan lain dikatakan:
“Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari kitab dalam sunnah”.
Hukum Ijtihad
 
Menurut Syeikh Muhammad Khudlari bahwa hukum jtihad itu dapat dikelompokan menjadi:
a.       Wajib ‘ain, yaitu bagi seseorang yang ditanyai tentang sesuatu masalah, dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
b.      Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyatakan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka  kewajiban mujtahid  yang lain telah gugur. Artinya ijtihad satu orang telah membebaskan beban kewajiban berijtihad. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut.
c.       Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
Peranan ijtihad
 
Banyaknya masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karenanya, islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Banyaknya Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang memberikan isyarat mengenai ijtihad ini, antara lain:
 
Firman Allah swt yang artinya:
“Sungguh, kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu” (QS. An-Nisa:105).
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad saw menyatakan:
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Namun  bila ia menetapkan hukum dengan jalan ijtihad dan salah, maka ia mendapatkan satu pahala”.
ijtihad sebagai mana yang telah dijelaskan diatas mempuyai peranan yang sangat penting dalam penetapan hukum suatu masalah yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an maupun As-Sunah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukum dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya. Seperti tentang niat sholat, bahwa para ulam sepakat bahwa sholat tanpa niat tidak sah.
Syarat-syarat Bagi Mujtahid
 
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu syarat-syarat umum, khusus dan pelengkap.
a.       Syarat umum
1)      Balig
2)      Berakal sehat
3)      Memahami masalah
4)      Beriman
b.      Syarat khusus
1)      Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang behubungan dengan masalah yang dianalisis, yang dalam hal ini ayat-ayat ahkam, termasuk asbab nuzul, musyatarak, dan sebagainya.
2)      Mengetahui sunnah-sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui asbab al-wurud, dan dapat mengemukakan hadis-hadis dari berbagai kitab hadis seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan lain-lain.
3)      Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akherat.
4)      Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah yaitu kaidah-kaidah yang dinisbatkan dari dalil-dalil syara’.
5)      Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab, yaitu nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.
6)      Mengetahui ilmu ushul fiqh, yang meliputi dalil-dalil syara’ dan cara-cara mengistinbatkan hukum.
7)      Mengetahui ilmu mantiq.
8)      Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah ashliyah (semacam praduga tak bersalah, praduga mubah dan sebagainya).
9)      Mengetahui soal-soal ijma’,  sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ijma’.
c.       Syarat-syarat pelengkap
1)      Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’i yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
2)      Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati.
3)      Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.
 
Tingkat-tingkat Mujtahid
 
Tingkat ini sangat bergantung pada kemampuan, minat dan aktivitas yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkat mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi:
a.       Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil, yaitu seorang mijtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara’, dengan tanpa terikat kepada madzhab apapun. Bahkan justru dia menjadi pendiri madzhab, seperti Iman Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Ahmad bin Hambal. Nama lain bagi mujtahid ini adalah mujtahid fard (perorangan).
b.      Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia dia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh madzhab itu sekalipun demikian, pendapatnya tidak mesti sama dengan pendapat imam madzhab tersebut.
c.       Mujtahid Fil Madzahib, yaitu mujtahid yang dalam ijtihad mengikuti kaidah yang digunakan oleh imam madzhabnya, dan ia juga mengikuti imam madzhab dalam masalah furu’. Terhadap masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh imam madzhabnya, terkadang ia melakukan ijtihadnya sendiri.
d.      Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang dalam menetapkan hukum suatu masalah berdasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat) dari pendapat pendapat imam-imam madzhabnya.
 
Kedudukan Ijtihad
 
Ijtihad sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus berkembang dan permasalahn pun semakin kompleks, sehingga perlu adanya tatanan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman tetapi tetap mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunah. Tentang kedudukan hasil ijtihad dalam masalah fiqih terdapat dua golongan yaitu:
a.       Golongan pertama berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid adalah benar, dengan alasan karena masalah tersebut Allah swt, tidak menentukan hukum tertentu sebelum diijtihadkan.
b.      Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum.

Comments

Popular posts from this blog

DALALAT AL-IQTIRAN

MASHALIH AL-MURSALAH

MADZHAB SHAHABI