IJMA’
Pengertian Ijma’
Ijma berarti sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut
istilah,yang dimaksud dengan ijma’ adalah:
“kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. Setelah
beliau wafat, pada suatu masa tertentu,
tentang masalah tertentu”.
Dari pengertian di atas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan
orang-orang yang bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatn
orang-orang yang semasa Nabi. Tidaklah disebut ijma’.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju
atau sepakat senagai ijma’. Namun pendapat jumhur ijma’ itu disyaratkan setuju paham mujtahid
(ulama) yang pada masa itu. Tidak sah ijma’ jika salah seorang ulama dari
mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma’ ini harus
berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang
lain.
Contoh mengenai ijma’ antara lain ialah menjadikan sunnah sebagai
salah satu sumber hukum Islam. Semua mujtahid
dan bahkan semua umat Islam sepakat (ijma’) menetapkan sunnah sebagai salah satu sumber
hukum islam. Contoh lain ialah tentang pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada
khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dalam tiga cara, yaitu:
a.
Dengan ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang
dilakukan para mujtahid yang dilakukan salah dalam suatu masalah.
b.
Dengan perbuatan (fi’li), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam
mengamalkan sesuatu.
c.
Dengan diam ( sukut), yaitu apabila tidak ada di antara mujtahid yang
membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah.
Macam-macam ijma’
Dilihat dari sikap para mujtahid dalam mengemukakan pendapatnya,
ijma terbagi dua, yaitu:
a.
Ijma’ sharih, yaitu: apabila semua mujtahid menyatakan persetujuannya
atas hukum yang mereka putuskan, dengan lisan maupun tulisan.
b.
Ijma’ Syukuti. Yaitu: apabila sebagian mujtahid yang memutuskan
hukum itu tidak semuanya menyatakan setuju baik dengan lisan maupun tulisan,
melainkan mereka hanya diam.
Jumhur ulam a berpendapat bahwa ijma’ yang dijadikan landasan hukum
adalah ijma’ sharih, sedangkan ijma’ sukuti tidak.
Sedangkan dalam tatanan ilmu yang lebih luas lagi, ijma’ dibagi
dalam beberapa macam:
1)
Ijma’ Ummah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah
pada suatu masa tertentu.
2)
Ijma’ Shahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu
masalah.
3)
Ijma’ Ahli Madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama madinah dalam
suatu masalah.
4)
Ijma’ Ahli Kufah, yaitu kesepakatan ulam-ulama Kufah dalam suatu
masalah.
5)
Ijma’ Khalifah yang Empat, yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu
Bakar, Umar, Utsaman, dan Ali) dalam suatu masalah.
6)
Ijma’ Syaikhani, yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan
Umar bin Khathab dalam suatu masalah.
7)
Ijma’ Ahli Bait, yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait
(keluarga Rasul)
Kedudukan Ijma’ sebagai sumber hukum
Kebanyakan
ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam
dalam menetapkan sesuatu hukum dengan nilai kehujjahan bersifat zhanny.
Golongan Syi’ah memandang bahwa ijma’
ini sebagi hujjah yang harus diamalkan. Sedangkan ulama-ulama Hanafi
dapat menerima ijma’ sebagai dasar hukum. Baik ijma’ qathiy maupun zhanny.
Sedangkan ulama-ulama Syafi’iyah hanya memegangi ijma’ qath’iy dalam menetepkan
hukum.
Dalil
penetapan ijma’ sebagai sumber hukum
Islam ini antara lain: Firman Allah swt yang artinya:
“wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil
Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu”. (QS. An-Nisa’ 59)
Menurut
sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan ulil amri, yaitu mujtahid. Sebagian
ulama lain menafsirkannya dengan ulama.
Apabila
mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu peristiwa atau masalah,
maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Hukum
yamg disepakati itu adalah hasil pendapat mujtahid umat Islam, karenanya pada
hakikatnya hukum ini adalah hukum umat yang dibicarakan oleh mujtahid.
Ijma’
ini menepati tingkat ketiga sebagai hukum syar’i, yaitu setelah Al-Qur’an dan
As-sunah.
Dari
pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam
menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an dan As-sunah tidak
ada atau kurang jelas hukum.
Sebab-sebab dilakukan ijma’
Di
antara sebab-sebab dilakukannya ijma’ adalah:
a.
Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status
hukumnya, semantara di dalam nash Al-Qur’an dan As-sunah tidak ditemukan
hukunya.
b.
Karena nash baik yang berupa Al-Qur’an maupun As-sunah sudah tidak turun lagi atau
telah berhenti.
c.
Karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan
karenanya mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan
status hukum persoalan permasalahan yang timbul pada saat itu.
d.
Di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada
perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.
Contoh-contoh ijma’
a.
Dikumpulakan dan dibukukannya nash Al-Qur’an sejak masa
pemerintahan Abu Bakar Ash-shiddiq adalah bentuk kesepakatan dari para ulama
zaman sahabat. Ide pengumpulan Al-Qur’an berasal dari Umar bin Khathab tapi kemudian Abu Bakar Ash_Shiddiq
mengumpulkan para ulama saat itu, sehingga terjadi perdebatan, karana hal itu
tidak ditetapkan oleh Rasulullah saw. Tetapi akhirnya para ulama menyepakati
untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an.
b.
Penetapan tanggal satu Ramadhan atau tanggal satu Syawwal harus
disepakati oleh para ulama di negerinya masing-masing berdasarkan ru’yatul
hilal.
c.
Nenek mendapatkan harta warisan 1/6 dari cucu jika tidak terhijab.
Ketetapan hukum ini berdasarkan ijma’ para sahabat, dan tidak ada yang
membantahnya.
Comments
Post a Comment